Semua Agama Benar?

MENCARI ungkapan “Semua agama benar” atau yang semakna dengannya di dalam kitab Allah, Al-Quran, maupun di dalam hadits-hadits nabi yang shahih sampai yang dhaif sekalipun tidak akan pernah bisa ditemukan. Kalimat di atas juga sangat asing di telinga para ulama mutaqaddimin (salaf) dan ulama muta’akhirin (khalaf) yang tsiqah berpegang pada Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu bila demikian, dari mana kalimat dan keyakinan itu berasal?

Jika menelusuri asal-muasalnya, klaim “Semua agama benar” lahir dari perasaan gundah gulana dan rasa iba sebagian cendekiawan dan kaum intelek atas wajah agama yang kerap tampil ambigu atau mendua. Satu saat agama diakui memberikan sumbangsih yang tidak sedikit terhadap peradaban, kebudayaan, dan perilaku baik manusia, namun di pihak lain agama justru seringkali menjadi sumber konflik paling dahsyat yang mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan. Dari rahim agama ini tak terhindarkan pertikaian bahkan peperangan antar umat beragama, seperti antara Kristen dan Islam dalam perang salib, bantai membantai antara Katholik dan Protestan di Eropa, Hindu dan Islam di India, Yahudi dan Islam di Palestina, serta sederet bukti-bukti keterlibatan agama dalam kancah perseteruan sesama manusia.
Upaya ke arah perdamaian antar agama telah digagas oleh para tokoh agama. Seperti tahun 1970 di Kyoto dan 1974 di Louvain diselenggarakan World Conference on Religion and Peace. Dilanjutkan pada tahun 1979 di Princeton. Lalu tahun 1993 di Chicago diadakan World Parliament of Religions yang tak tanggung-tanggung diikuti 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-agama Dunia. Inti dari sejumlah pertemuan tadi ialah menyadari pentingnya menciptakan perdamaian di antara para pemeluk agama yang berbeda, saling menghargai, saling menolong, saling melindungi, tidak ada perasaan superioritas atau inferioritas.
Entah karena merasa misi perdamaian yang mereka usung telah gagal dengan indikasi masih banyak (bahkan cenderung meningkat) pertentangan antar umat beragama, padahal waktu dan tenaga telah terkuras serta dana yang tidak sedikit telah terbuang, cendekiawan dan kaum intelek itu meluncurkan konsep yang dianggap lebih greget untuk mengakhiri konflik agama. Mereka menyerukan setiap pemeluk agama untuk me-reinterpretasi (mengkaji ulang) pemahaman keagamaan yang selama ini kadung menjadi keyakinan umum yang telah dianggap selesai tanpa kritik. Tidak kepalang mereka berkesimpulan, selama manusia masih bersikap ekslusif dan anti-pluralis, yakni merasa benar dengan agamanya dan menyalahkan ajaran agama lain, maka bibit-bibit perpecahan akan selalu menguntit dan membuntuti. Namun bila setiap orang bersikap inklusif, pluralis, dan nonsektarian, artinya meyakini kebenaran agamanya sekaligus membenarkan jalan yang ditempuh agama lain tanpa ada yang merasa lebih superior dan paling benar daripada yang lain, tentu perdamaian, ketentraman, kesejukan, dan kesentosaan antar pemeluk agama akan terwujud. Demikian kira-kira gagasan yang dapat kita tangkap dari beberapa lontaran pemikiran mereka tentang pluralisme agama yang mereka sebar di berbagai media, baik cetak maupun elektronik.
Dalam memuluskan ide gila ini, kalangan cendekiawan muslim tak segan-segan mencari-cari pembenaran dari ayat-ayat Al-Quran yang kadang dipenggal-penggal dan ditafsiri dengan tafsir sendiri yang validitasnya sangat diragukan. Tak hanya itu, hadits-hadits nabi yang dianggap akan mematahkan argumentasi sesatnya, walaupun telah dishahihkan  ahli hadits, sengaja dikritik habis-habisan dengan menggunakan metode yang tidak lazim digunakan oleh kalangan pakar hadits, seperti yang sering dilakukan Fatima Mernisi dan Abu Rayyah yang tidak mau mematuhi rambu-rambu kritik hadits.
Dalam mengusung tema pluralisme, Nurcholish Madjid atau Caknur telah melakukan kekeliruan besar atas maksud surat Asy-Syura ayat 13 yang berbunyi,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِى أَوْحَيْنَا اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ اِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسىَ اَنْ أَقِيْمُوْا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِ أللهُ يَجْنَبِى اِلَيْهِ مَنْ يَشآء وَيَهْدِى اِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali.” (Q.S. Asy-Syura: 13).
Ayat di atas dijadikan pijakan oleh Caknur untuk berpendapat seperti berikut:
“Jadi, sudah seharusnya kita menghormati keberadaan agama-agama itu tanpa membeda-bedakannya. Justru perasaan berat untuk bersatu dalam agama itu disebutkan sebagai sikap kaum musyrik, penyembah berhala (kaum pagan). Sedangkan perbedaan antarberbagai agama itu hanyalah dalam bentuk-bentuk jalan (syir’ah atau syari’ah) dan cara (minhaj) menempuh jalan itu.” (Kompas, Rabu 30 Mei 2001).
Kita tak habis pikir untuk mencocokkan ayat di atas dengan jalan pikiran Caknur. Lafad yang mana dari ayat tadi yang mengakui keberagaman agama para nabi sehingga kita harus menghormati keberadaan agama-agama itu tanpa membeda-bedakannya? Bila Caknur menyebut bahwa agama Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad berbeda sebagai mafhum dari ayat di atas, maka jauh sebelum Caknur, Ibnu Katsir telah menjelaskan ayat tersebut dengan mengatakan, “Adapun agama yang telah dibawa oleh semua rasul adalah ihwal peribadatan hanya kepada Allah dan tidak mengadakan serikat bagi-Nya.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menafsirkan ayat, “Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya’,  yaitu mereka sangat keberatan dan mengingkari ketauhidan yang kamu serukan, hai Muhammad, kepada mereka.” Sementara Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami' li Ahkamil Quran, juz 16, ia menafsirkan ayat, ”Tegakkanlah agama" yaitu, "(Seluruh nabi harus) Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya, dan beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan kepada hari pembalasan." Bagaimana kita bisa menyebut Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, dan Budha beriman kepada Allah padahal mereka tidak mengimani (memusuhi)  Nabi Muhammad dan kitab Al-Quran.
Jadi, agama seluruh rasul dan nabi semenjak Adam sampai Nabi Muhammad tidak berbeda-beda sebagaimana yang diyakini Caknur. Agama para nabi dan rasul itu adalah agama yang mentauhidkan Allah dan melarang manusia memusyrikan-Nya, dan tidak ada satu pun agama yang memiliki sifat dan misi seperti itu kecuali Islam. Dengan demikian, agama para rasul dan nabi adalah Islam.
Dr. Sa’id Hawwa dalam muqaddimah kitab Al-Islam menguatkan pernyataan di atas, bahwa Islam merupakan agama para rasul dan nabi. Beliau membeberkan berbagai perkataan nabi dan rasul dalam ayat-ayat Al-Quran. Beliau juga mengutip sebuah riwayat Al-Bukhari, Muslim dan hadits Abu Daud yang berbunyi,
اَلأَنْبِيَاءُ اِخْوَةٌ أَبْنَاءُ عَلاَتٍ أُمَهَّاتُهُمْ شَتَّى وَدِيْنُهُمْ وَاحِدٌ
“Seluruh nabi itu bersaudara, mereka anak-anak dari perempuan-perempuan yang berbeda dan agama mereka satu”. (H.R. Bukhari Muslim).
Tak diragukan lagi, bila kita menerima ide pluralis-nya Caknur, Ulil Abshar Abdalla, Dawam Rahardjo dan konco-konconya, maka kita sama dengan meruntuhkan bangunan akidah Islam dan menghapus esensi atau jati diri Islam itu sendiri. Nantinya tidak akan ada lagi cap murtad bagi orang yang keluar dari Islam serta konsekuensi-konsekuensi yang harus diterimanya, seperti dibunuh berdasarkan sabda Nabi Muhammad,”Man baddala diinahu faqtuluuhu(Barangsiapa yang mengganti agamanya –murtad- maka bunuhlah), juga hartanya tidak akan dianggap lagi fa’i (rampasan) sebagaimana kesepakatan madzhab Hambali, Hanafi dan  Syafi’i.  Ikrar syahadah yang berisi pengingkaran terhadap tuhan-tuhan selain Allah, hanyalah bunyi tanpa makna, sebab mengakui kebenaran ajaran agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya berarti kita telah mempersamakan dan mensejajarkan Allah dengan Uzair, Yesus, dan Dewa-dewa, padahal Allah telah memerintahkan umat Islam untuk menjauhi dan memusuhinya. Allah berfirman,
وَ لَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوااللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul untuk menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (Q.S. An-Nahl: 36).
Siapapun manusia yang hari ini tidak mau menerima misi Nabi Muhammad sampai ajal menjemputnya, maka tak perlu sungkan untuk mengatakan tempat kembali mereka adalah neraka. Rasul mengajarkan demikian kepada kita dalam sabdanya,
وَالَّذِى نَفْسِ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَسْمَعُ بِى أَحَدُ مِنْ هذِهِ الأُ مَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنُوْا بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ اِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (رواه مسلم)
“Demi Zat yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang pun Yahudi dan Nasrani dari umat ini yang mendengar (seruan)ku kemudian meninggal dunia dan dia belum beriman dengan ajaranku kecuali dia termasuk penghuni neraka”. (H.R. Muslim).
Tentu setiap muslim yang istiqamah dengan keislamannya tidak akan pernah tergiur oleh produk pemikiran yang rusak seperti yang ditawarkan kaum pluralis, suatu kaum yang amat berat mengatakan kafir pada orang-orang yang sudah dijelaskan oleh Allah dan rasul-Nya tentang kekufurannya. Mereka juga kaum yang senang mengubah maksud firman-firman Allah dengan kesimpulan-kesimpulan yang berlawanan.
Bagi kita, Allah telah menyelesaikan hubungan Islam dengan agama-agama lain secara tuntas dan gamblang melalui Al-Quran dan As-Sunnah. Misi perdamaian yang mereka dengungkan dengan cara mengacak-acak ajaran Islam, tidaklah menyelesaikan masalah, tapi hanya akan melahirkan konflik baru yang berkepanjangan di antara sesama internal kaum muslimin atau antar umat beragama dalam pro-kontra tentang pemahaman kacau yang mereka tawarkan.
Bagaimana mungkin kita harus mempertemukan ajaran Islam yang secara jelas mengesakan Allah, dengan Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu atau agama-agama lain yang secara terang-terangan menyekutukan-Nya? Mohammad Natsir, sebagaimana dikutip Adian Husaini, menyebut kaum pluralis sebagai dokter yang memberikan "obat sintesa", obat ini mengandung inti bahwa semua agama sama-sama baik. Natsir melanjutkan, "Akhir kesudahannya menghasilkan satu agama gado-gado, Budha tanggung, Islam tidak, Kristen tak tentu. Walaupun bagaimana, hasil dari perawatan dokter yang macam ini bukanlah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw."
Penulis: Ustad Ramdan Priatna

1 komentar:

  1. What is a no deposit bonus at CasinoDaddy
    Play free slots. 서귀포 출장샵 CasinoDaddy.com CasinoDaddy offers a great selection of table games, 김해 출장샵 slots and live dealer games. No 포항 출장샵 deposit casino bonus: Claim 서산 출장안마 a bonus code. 태백 출장샵

    BalasHapus